My library button
  • Book cover of Fiqh Perempuan 2

    “Kami bangsa Arab sebelum Islam tidak menganggap apa-apa terhadap perempuan. Tetapi, begitu nama mereka disebut-sebut Tuhan (di dalam al-Qur’an), kami baru mengetahui bahwa ternyata mereka mempunyai hak-hak atas kami,” demikian Umar bin Khattab pernah mengatakan. Kesaksian Umar bin Khattab atas kondisi umum kaum perempuan Arab pra-Islam tersebut memberikan gambaran jelas bagaimana kaum perempuan diperlakukan dan diposisikan sebagai makhluk “nomor dua”. Di atas landasan konstruksi sosial patriarkis, al-Qur’an hadir. Sekalipun demikian, pembacaan komprehensif atas teks-teks al-Qur’an sangat diperlukan menuju konstruksi sosial-budaya baru yang lebih beradab, egalitarian, dan berkeadilan. Buku ini merefleksikan tentang betapa pentingnya membaca sekaligus memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan yang luas agar tidak terperangkap dalam pemahaman yang sempit dan menyesatkan. Sebab, dalam isu-isu perempuan, al-Qur’an sungguh-sungguh berusaha membebaskan perempuan dari sistem sosial patriarkis yang menindas.

  • Book cover of Hiburan Orang-orang Saleh

    Suatu hari, Malaikat Izrail datang ke rumah Nabi Sulaiman. Saat itu, di sisi Nabi Sulaiman ada seorang laki-laki sedang bertamu. Mata Malaikat Izrail menatap tajam laki-laki itu. Lantaran ketakutan, tamu itu pamit. Tapi sebelum meninggalkan tuan rumah, ia bertanya, “Siapa orang yang baru datang tadi?” Nabi Sulaiman menjawab, “Malaikat Maut.” “Tolong perintahkan angin agar membawaku ke suatu tempat antah berantah, di India.” Laki-laki tadi hilang lenyap. Nabi Sulaiman masuk ke rumah. Lalu bertanya kepada Malaikat Izrail, “Mengapa engkau memelototi tamu tadi?” Malaikat Izrail menjawab, “Betapa mengagumkan orang itu. Aku disuruh Tuhan mencabut nyawanya di India sekarang juga.” *** Buku ini memuat kisah-kisah teladan dan kearifan para pemimpin zaman dahulu. Mulai dari Nabi Muhammad Saw, generasi sahabat, hingga generasi terkemudian. Banyak pesan moral yang dapat kita petik dari kisah-kisah di dalam buku ini. Misalnya, tentang pemimpin yang mengayomi kemaslahatan rakyat, kesetaraan di hadapan hukum, sikap toleran, dan keteladanan lainnya yang masih segar dan tentu saja menghibur untuk dinikmati hingga hari ini.

  • Book cover of Fiqh Perempuan ; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender

    Melalui buku ini, kita disadarkan betapa luasnya cakrawala lautan ilmu fiqh. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang tradisi kitab kuning cukup kuat, kiai Husein Muhammad mampu membaca dan memetakan berbagai ke-timpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui berbagai ragam referensi secara teliti dan kritis. Bahasan tentang kepemimpinan shalat perempuan, khitan, dan sebagainya yang ada dalam buku ini akan memperluas cakrawala pandang kita tentang betapa utamanya fiqh, yang demikian terbuka memberikan ruang dialog seluas-luasnya bagi berbagai pandangan dan pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh.

  • Book cover of Islam; Cinta, Keindahan, Pencerahan, dan KemanusiaaN

    Renungan dari KH. Husein Muhammad dalam buku ini merupakan pancaran dari kegelisahan, endapan, dan semangat yang ia dapatkan dalam melihat permasalahan umat manusia saat ini. Renungan ini tidak hanya berupa esai-esai yang lahir dari pergulatan pemikiran, tetapi juga pancaran hati Sang Kiai untuk memberikan pencerahan bagi santri dan murid-muridnya, yakni seluruh manusia yang menginginkan pencerahan dalam beragama. Esai-esai Kiai Husein dalam buku ini penuh dengan cinta: tidak menohok dengan serangan tajam, tetapi mengingatkan dengan refleksi yang berbobot. Kiai Husein juga menghadirkan renungan—tak hanya umat Muslim, tetapi juga lintas agama—tentang makna Islam yang ia pahami sebagai agama cinta, agama yang memberikan pencerahan, bukan dengan kemarahan. Mengaji dari Kiai Husein, lewat apa yang ditulisnya dalam buku ini, akan mengantarkan kita untuk memahami Islam yang berselimut sutra keindahan dan memancarkan pencerahan. Dalam renungan Kiai Husein, Islam merupakan agama pencerahan yang hendaknya dipahami dengan segala dinamika dan diversifikasi tafsirnya, bukan mengekalkan pada tafsir tunggal yang berselubung kepentingan dunia dan hasrat kekuasaan. Islam yang diajarkan dengan cinta, keindahan, dan pencerahan inilah yang menjadi ruh esai-esai Kiai Husein dalam buku ini.

  • Book cover of Menimbang Pluralisme

    Pluralisme pernah menjadi isu terpanas di jagat intelektual Indonesia pada tahun 2000-an. Puncaknya ketika MUI pada 2005 menerbitkan fatwa haramnya paham pluralisme—bersama dua saudaranya: liberalisme dan sekularisme. Sayangnya, penghakiman atas istilah/konsep pluralisme itu sering muncul dari prasangka atau pemahaman yang kurang mendalam dan menyeluruh. Nah, buku ini ingin memperlihatkan kepada pembaca, bagaimana para sarjana Muslim terkemuka memahami/mendekati agama, dari sudut disiplin yang berbeda, dengan suatu cara yang boleh jadi dianggap melampaui diskursus keagamaan arus utama. Mereka menggali substansi dan kedalaman teks serta keragaman tafsir atasnya. Sudut disiplin yang dimaksud adalah kalam (teologi), fiqih (hukum), dan tasawuf (mistisisme). Teks-teks keagamaan itu dibaca oleh mereka melalui mekanisme penggabungan aktivitas nalar rasional, filosofis, dan permenungan kontemplatif. Mereka adalah para Mahaguru Pencerahan: Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ibn Rusyd al-Hafid, Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Husain Manshur al-Hallaj, dan Imam Fakhr al-Din al-Razi. Pengantar Edisi Baru PLURALISME DAN TOLERANSI ITU INDAH KEBERAGAMAN atau keanekaragaman adalah kehendak Tuhan. Atau, dalam bahasa lain, hukum alam. Keberagaman bukan hanya dalam aspek tubuh, tetapi juga ruh, akal, dan kehendak. Dalam keragaman ada keindahan bagai taman bunga warna-warni dengan beragam aromanya. Di dalamnya ada bermacam energi yang membuat hidup jadi bergairah dan kreatif. Syaikh Syams-i Tabrizi, guru spiritual Maulana Jalaluddin Rumi, menyampaikan kata-kata indah: “Kita semua diciptakan menurut citra Allah, dan pada saat yang sama masing-masing kita diciptakan berbeda dan unik. Tak ada orang yang sama. Tak ada dua hati yang sama. Jika Tuhan ingin semua orang sama, Dia sudah menciptakan demikian. Oleh karena itu, tidak menghargai perbedaan atau memaksakan pandanganmu terhadap orang lain sama saja dengan tak menghargai aturan dan keputusan Tuhan” (Syams-i Tabrizi, Tafsir 40 Kaidah Cinta). Al-Quran sendiri sudah menegaskan hal ini: Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah kamu untuk berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perdebatkan. (QS Al-Mâ?idah [5]: 48) Keragaman eksistensi tersebut seyogianya membimbing kita bukan saja untuk saling menghargai eksistensi yang lain, tetapi juga saling menyambut, menyediakan tempat, dan memudahkan yang lain. Inilah makna genuine dari kata toleran, samâhah, atau tasamuh. Betapa indahnya hidup ini bila manusia dalam kehidupan bersamanya saling membagi kegembiraan dan kebahagiaan. Dalam beberapa dasawarsa ini, dunia Muslim tengah mengalami problem serius atas isu tersebut. Hampir saban hari relasi antarmereka sendiri, seagama atau sekeyakinan, dan mereka dengan “liyan” sebangsa dan se-Tanah Air diliputi ketegangan, perseteruan, konflik, permusuhan, bahkan saling membunuh. Fenomena ini belakangan telah menciptakan islamofobia, bahkan kecenderungan sebagian masyarakat untuk tak lagi ingin beragama. Mereka hanya ingin bertuhan atau sebagian lain malah menolak keberadaan Tuhan. Buku ini hadir untuk memberikan pengetahuan kepada dunia bahwa para bijak bestari, intelektual Muslim besar dan para tokoh kemanusiaan yang namanya melegenda, mengurai isu kemanusiaan ini dengan begitu indah. Saya selalu merindukan kehadiran mereka di sini, hari ini, untuk membagi cahaya dan cinta. Beberapa saja dari mereka yang untuk sementara bisa saya tulis adalah Syaikh Husain Manshur al-Hallaj, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Imam Ibn Rusyd al-Hafid, Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi, dan Imam Fakhr al-Din al-Razi. Syams al-Din Muhammad al-Syahrzuri (w. 1288 M), pada pendahuluan bukunya, Nuzhah al-Arwah wa Raudhah al-Afrah fi Tarikh al-Hukama wa al-Falasifah, memberi saya pengetahuan ketika dia mengatakan: “Zaman telah sunyi senyap dari kehadiran seperti para tokoh besar kemanusiaan. Umat manusia diliputi ketidakmengertian. Bila engkau seorang pelajar yang rajin dan pemikir yang memperoleh petunjuk Tuhan, seyogianya mengikuti jejak mereka dan mencari cari dengan serius kabar mereka.” Sementara Imam al-Thabarani, seorang ahli hadis terkemuka, menginformasikan kepada kita pesan-pesan kenabian. Antara lain: “Hadiah dan pemberian paling indah adalah kata-kata dan narasi kebijaksanaan (wisdom). Seyogianya orang-orang beriman mendengarkannya lalu menginternalisasikannya ke dalam jiwanya, kemudian membagikannya kepada saudara-saudaranya.” Cirebon, 27 Januari 2021 Husein Muhammad

  • Book cover of Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus

    Percakapan-percakapan dalam buku ini tentu saja menjadi semacam oase yang menyejukkan. Cerita-cerita yang dihadirkan merupakan inspirasi bagi kita untuk senantiasa “ngakak” di tengah zaman yang semakin ruwet, sebagaimana Gus Dur dan Gus Mus yang “enteng-enteng saja” menjalani kehidupan dengan segala macam persoalannya. Hubungan dua sahabat yang sama-sama memiliki “keistimewaan” ini ditulis dengan sangat brilian oleh K.H. Husein Muhammad, yang juga sahabat sekaligus pengagum berat Gus Dur dan Gus Mus. “Gus Dur adalah orang yang cerdik, sangat cerdas, dan menguasai banyak ilmu agama dan ilmu umum. Pengetahuannya sangat luas dan terbuka. Tetapi, boleh jadi Gus Dur juga dianugerahi keistimewaan ilmu weruh sak durunge winara (mengetahui sebelum terjadi) sebagaimana orang-orang menyebutnya. Atau, kalau dalam tradisi pesantren disebut ilmu laduni, atau ilmu adiluhung,” tutur Gus Mus. Gus Mus bercerita bahwa Gus Dur, manakala menerima undangan untuk diskusi, seminar, simposium, dialog, atau konferensi dan sejenisnya, beliau lebih dulu mencari tahu siapa saja pembicaranya. Lalu, mempelajari pikiran-pikirannya, perspektifnya, dan gagasan-gagasan yang pernah disampaikannya, baik dalam karya-karya tulisnya maupun dalam ceramah-ceramahnya. Nah, dari membaca semua itu, Gus Dur menangkap apa yang akan dibicarakan dan disampaikan para pembicara/narasumber itu kelak. Paling-paling tak jauh dari itu juga. Suatu waktu, dalam sebuah acara di mana salah seorang pemimpin Negara Islam Iran mau bicara dan berdialog, Gus Dur justru tidur, ngorok lagi. Banyak tokoh yang menganggap tindakan Gus Dur ini tidak sopan. Namun, betapa menakjubkan, begitu pidato atau ceramah petinggi Iran itu selesai dan Gus Dur bangun, dia justru segera angkat tangan lebih dulu meminta berbicara untuk merespons.

  • Book cover of Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan

    Hidup ini indah hanya jika kita saling mencintai, sebagaimana Allah mencintai semesta alam. Ibarat dua sisi mata uang, keberadaan perempuan dan laki-laki tak dapat dipisahkan. Keduanya saling melengkapi dan membutuhkan. Melalui Al- Qur’an, Allah menuntun manusia untuk saling kenal-mengenal (ta’aruf) untuk kebaikan. Tetapi dalam keseharian kita masih melihat perempuan sering menerima perlakuan tidak adil. Kekerasan dalam rumah tangga, di jalan, di tempat-tempat umum, dan tindakan diskriminatif lainnya masih marak di mana-mana. Ini diakibatkan dari anggapan bahwa perempuan akalnya lemah, emosional, dekat dengan setan, dan lain-lain. Buku Mencintai Tuhan, Mencintai Kesetaraan: Inspirasi dari Islam dan Perempuan, berisi kumpulan tulisan yang menginspirasi kita untuk mencintai Tuhan. Mustahil kita mencintai Tuhan tanpa mencintai kesetaraan. Kesetaraan itu berarti perempuan dan laki-laki saling melengkapi dan membutuhkan. Inilah wajah Islam yang ramah terhadap perempuan, bukan hanya dalam perkataan tetapi juga dalam tindakan. Buku ini dibagi dalam tiga tema besar yang mencerahkan; • Islam Rahmat, Islam Maslahat • Semesta Islam dan Perempuan • Senandung Doa Kesetaraan

  • Book cover of Bersama Nabi Muhammad Saw

    Sebagai muslim yang beriman, pastilah kita selalu terdorong untuk ittiba’ (meneladani) Nabi Saw dalam segala aspek kehidupan dengan sepenuh bahagia dan sukacita. Tak terkecuali dalam hal memperingati hari-hari besar Islam. Setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, misalnya, kita rutin merayakan Maulid Nabi Saw. Kita juga rutin memperingati Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, Idul Adha, Asyura’, dan sejumlah hari besar Islam lainnya. Peringatan hari-hari besar Islam tentu harus lebih dari sekadar seremonial dan rutinitas belaka. Kita harus mampu memetik hikmah dari serangkaian perayaan itu sebagai bekal kehidupan kita yang lebih baik. Bagaimana caranya? Yaitu, dengan memahami latar belakang sejarah dari hari-hari besar Islam itu. Buku ini hadir untuk tujuan tersebut, yaitu agar kita mengetahui secara jelas perihal konteks sejarah dan meraih pesan-pesan moral yang begitu berharga dari hari-hari besar tersebut. Selamat membaca!

  • Book cover of Kidung Cinta Syams Tabrizi-Maulana Rumi

    Jalan menuju Kebenaran itu melewati hati, bukan melalui kepala. Maka jadikan hatimu, bukan kepalamu, pembimbingmu yang utama. Hadapkanlah hatimu, kau akan sampai. Hatimu itu ada dalam jiwamu. Pengetahuanmu tentang jiwamu sendiri akan mengantarkanmu mengenal Tuhan, Sang Kebenaran itu. —Syamsi Tabrizi Cintalah yang mengubah pahit menjadi manis, tanah menjadi biji emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, dan penjara menjadi taman. Cinta pula melunakkan besi dan menghancurkan batu, menghidupkan yang dan menggairahkan kehidupan. —Maulana Rumi *** Hampir keseluruhan tema yang dibahas oleh Maulana Rumi di dalam segenap puisi-puisinya sumbernya ialah cinta. Cintalah yang menjadikan hari-hari seseorang menjelma genangan kelembutan, kedamaian, dan keindahan. Bahkan konon, cinta yang telah menemukan alamatnya, tidak hanya mampu menggenapkan hidup yang ganjil dari seseorang, tapi yang jauh lebih dahsyat dari itu adalah ia juga sanggup mengubah nyeri jadi melati. Begitulah kira-kira yang hendak ditegaskan oleh Maulana Rumi dan Syamsuddin Tabrizi di dalam buku berisi kidung-kidung cinta dan kearifan ini. Selamat membaca.

  • Book cover of Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Menjomblo

    Pernahkah Anda mendengar nama Imam Nawawi, Ibnu Jarir ath-Thabari, atau Ibnu Taimiyah? Nama pertama adalah raksasa Madzhab Syafi’i, nama kedua terkenal sebagai Guru Besar Para Mufasir, sedangkan nama ketiga adalah ulama kebanggaan kaum Salafi. Ketiganya adalah ulama besar, dan mereka tentu saja mafhum soal hukum menikah. Namun, hingga akhir hayatnya, mereka memilih untuk melajang (jomblo). Mengapa? Anda akan menemukan jawabannya dengan membaca buku ini. Buku ini berisi biografi singkat 21 tokoh jomblo, dari generasi shalafush shalih hingga kontemporer, baik tokoh laki-laki maupun perempuan. Mereka terdiri dari ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqh, sufi, sastrawan, politisi, fiminis, bahkan Wali Quthub, mujtahid (ahli ijtihad), mujaddid (pembaru), dan mujahid (pejuang). Ada banyak alasan mereka memilih untuk tidak menikah. Karena sangat larut dalam telaga keimanan dan peribadatan, tenggelam dalam telaga ilmu pengetahuan, hingga sangat sibuk berjuang. Di bagian akhir, penulis memberikan keterangan yang sangat memikat mengenai hukum menikah lintas mazhab.