· 2019
Dalam beberapa tahun belakangan, perbincangan di sekitar hak-hak perempuan terus bergulir di berbagai forum nasional maupun internasional. Perbincangan tersebut mengarah pada soal keadilan relasi laki-laki dengan perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan. Hal ini karena perempuan seringkali diperlakukan secara diskriminatif dengan dalih perbedaan gender. Bahkan, yang lebih mencengangkan sekaligus menarik ialah manakala diketahui bahwa “agama” ternyata ikut terlibat dalam diskurus diskriminatif berbasis gender tersebut. Pertanyaan mendasar yang sering diajukan terkait dengan isu ini ialah apakah agama mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya? Secara lebih elaboratif, pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi: apakah kaum perempuan, dalam pandangan agama, khususnya Islam, memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil dengan kaum laki-laki, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik; misalnya menentukan pilihan pasangan hidup, menjadi kepala keluarga atau menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik lainnya, mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, dan seterusnya? Buku yang ada di tangan Anda ini merupakan edisi representasi dari kegelisahan fiqh tersebut.
· 2022
Tema perempuan dalam kacamata agama, hukum, dan negara telah banyak dibahas di atas meja akademik. Berbagai hasil riset lapangan juga diterbitkan oleh sejumlah institut swasta maupun negeri. Dalam karya yang berjudul Perempuan, Islam, dan Negara: Pergulatan Identitas dan Entitas, KH. Husein Muhammad mengeksplorasi dunia perempuan, terlebih perempuan Muslim. Dengan mengambil sampel perempuan pesantren, penulis mencoba memahami pergulatan identitas dan entitas perempuan Muslim. Diskursus tentang perempuan pesantren ini sangat menarik karena merupakan tema “non-laten” dalam wacana gender dan feminisme. Refleksi penulis yang pernah menyabet award (penghargaan) dari Pemerintah Amerika Serikat untuk “Heroes To End Modern-Day Slavery” pada tahun 2006 itu tidak berhenti di dunia pesantren saja, melainkan juga menyoroti pergulatan kaum perempuan di mata hukum dan negara. Termasuk pula dibabar mengenai sejumlah kompleksitas problem, ranah perjuangan, dan tantangan yang dihadapi oleh kaum perempuan. Oleh karenanya, buku ini akan menjadi batu pijak perjuangan perempuan pada tahun-tahun mendatang, terlebih dalam membentuk identitas dan jati diri mereka.
“Kami bangsa Arab sebelum Islam tidak menganggap apa-apa terhadap perempuan. Tetapi, begitu nama mereka disebut-sebut Tuhan (di dalam al-Qur’an), kami baru mengetahui bahwa ternyata mereka mempunyai hak-hak atas kami,” demikian Umar bin Khattab pernah mengatakan. Kesaksian Umar bin Khattab atas kondisi umum kaum perempuan Arab pra-Islam tersebut memberikan gambaran jelas bagaimana kaum perempuan diperlakukan dan diposisikan sebagai makhluk “nomor dua”. Di atas landasan konstruksi sosial patriarkis, al-Qur’an hadir. Sekalipun demikian, pembacaan komprehensif atas teks-teks al-Qur’an sangat diperlukan menuju konstruksi sosial-budaya baru yang lebih beradab, egalitarian, dan berkeadilan. Buku ini merefleksikan tentang betapa pentingnya membaca sekaligus memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan yang luas agar tidak terperangkap dalam pemahaman yang sempit dan menyesatkan. Sebab, dalam isu-isu perempuan, al-Qur’an sungguh-sungguh berusaha membebaskan perempuan dari sistem sosial patriarkis yang menindas.
· 2021
Orang-orang pesantren sudah telanjur terdoktrin bahwa posisi perempuan harus berada di bawah posisi laki-laki, karena secara “kodrat”, laki-laki diberikan sesuatu yang lebih daripada perempuan. Urusan perempuan dibatasi hanya di ruang domestik (dapur, sumur, dan kasur), dan tidak boleh aktif di ruang publik, karena dikhawatirkan menyebabkan fitnah. Istri wajib tunduk kepada suami, bahkan jika manusia boleh menyembah manusia, istri wajib menyembah suaminya. Aturan ini “given”, tak bisa diubah, karena telah difatwakan oleh para ulama, baik salaf maupun khalaf, di kitab-kitab kuning yang memang menjadi pegangan orang-orang pesantren. Pertanyaannya, sebegitukah Tuhan “memperlakukan” kaum perempuan? Apakah Tuhan tidak suka mereka menjadi apa saja yang berguna bagi masyarakatnya? Tidak. Sebab, realitas mutakhir menunjukkan bahwa banyak perempuan yang jadi presiden, menteri, ulama, pejuang, bahkan tidak sedikit putra-putra kiai yang jadi tokoh publik dan kuliah ke luar negeri tanpa bersama mahram. Lantas, bagaimanakah menghadapi realitas demikian? K.H. Husein Muhammad memberikan jawabannya di buku ini. Buku ini menyampaikan analisis kritis atas isu-isu perempuan dalam perspektif kesetaraan dan keadilan gender. Menurut kiai feminis ini, kita harus membuat tafsir baru terhadap al-Qur’an dan hadits, fiqh baru, fiqh emansipatoris, fiqhul aman, karena produk-produk fiqh klasik sudah “basi” untuk dinamika masyarakat kontemporer yang sedang mengalami globalisasi.
· 2004
Buku ini menyajikan materi-materi terkait argumen-argumen yang ada dalam al-Qur'an maupun al-Hadits bahwasanya Islam sebagai agama rahmatan lil al'alamin pun memberikan penghormatan kepada kaum perempuan.
· 2021
Buku ini merupakan hasil refleksi Kiai Husein Muhammad terhadap segala hal yang ia amati secara cermat dari berbagai realitas kehidupan masyarakat yang ada sekarang ini. Dalam buku ini, beliau menyampaikan poin-poin penting dari spiritualitas nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang selama ini sering “dimarjinalkan”. Spiritualitas yang dimaksud adalah: ritual, akal, sosial, politik, dan perempuan. Masing-masing tema diulas secara cermat dan mendalam dengan senantiasa mendasarkan argumentasi pemikirannya pada khazanah tradisi klasik Islam sebagaimana sudah menjadi ciri khas/frame pemikirannya. Jargon utama Kiai Husein dalam setiap pemikirannya ialah: kaifa nataqaddam duna an natakhalla’ ‘an at-turats (bagaimana kita maju dengan tanpa meninggalkan tradisi). Terkait dengan itu, melalui buku ini, beliau mengajak para pembaca untuk menyelami berbagai persoalan yang berhubungan dengan keagamaan dan kemanusiaan, serta mencari jalan keluarnya dengan berpegang pada referensi tradisi klasik Islam. Selamat membaca!
· 2016
Esai-esai Kiai Husein dalam buku ini penuh dengan cinta. Ia tidak menohok dengan serangan tajam, namun mengingatkan dengan refleksi yang berbobot. Kiai Husein juga menghadirkan renugan-tak hanya umat muslim, namun juga lintas agama-tentang makna Islam yang ia pahami sebagai agama cinta; agama yang memberikan pencerahan, bukan menghentak kemarahan. Buku ini akan menghantarkan kita memahami Islam yang berselimut keindahan, dan memancarkan pencerahan. Dalam renungannya, Islam merupakan agama pencerahan yang hendaknya dipahami dengan segala dinamika dan keanekaragaman tafsirnya, bukan mengekalkan pada tafsir tunggal yang berselubung kepentingan dunia dan hasrat kekuasaan. Islam yang diajarkan dengan cinta, keindahan dan pencerahan inilah yang menjadi ruh buku ini. [Mizan, Bentang Pustaka, Bunyan, Agama, Islam, Cinta, Indonesia]
Suatu hari, Malaikat Izrail datang ke rumah Nabi Sulaiman. Saat itu, di sisi Nabi Sulaiman ada seorang laki-laki sedang bertamu. Mata Malaikat Izrail menatap tajam laki-laki itu. Lantaran ketakutan, tamu itu pamit. Tapi sebelum meninggalkan tuan rumah, ia bertanya, “Siapa orang yang baru datang tadi?” Nabi Sulaiman menjawab, “Malaikat Maut.” “Tolong perintahkan angin agar membawaku ke suatu tempat antah berantah, di India.” Laki-laki tadi hilang lenyap. Nabi Sulaiman masuk ke rumah. Lalu bertanya kepada Malaikat Izrail, “Mengapa engkau memelototi tamu tadi?” Malaikat Izrail menjawab, “Betapa mengagumkan orang itu. Aku disuruh Tuhan mencabut nyawanya di India sekarang juga.” *** Buku ini memuat kisah-kisah teladan dan kearifan para pemimpin zaman dahulu. Mulai dari Nabi Muhammad Saw, generasi sahabat, hingga generasi terkemudian. Banyak pesan moral yang dapat kita petik dari kisah-kisah di dalam buku ini. Misalnya, tentang pemimpin yang mengayomi kemaslahatan rakyat, kesetaraan di hadapan hukum, sikap toleran, dan keteladanan lainnya yang masih segar dan tentu saja menghibur untuk dinikmati hingga hari ini.
· 2020
Poligami, atau lebih tepat disebut poligini, merupakan satu isu paling krusial dalam relasi antara laki-laki dan perempuan yang tak pernah selesai diperbincangkan, khususnya di dunia Muslim. Satu kelompok membolehkan poligami berdasarkan QS. an-Nisaa’ [4]: 3. Bahkan, ada sejumlah pihak yang memfatwakan bahwa setiap perempuan yang ikhlas dipoligami, jaminannya surga. Sementara, kelompok lain menolak poligami berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw. tatkala menentang rencana Ali bin Abi Thalib Kw. untuk mempoligami Fathimah Ra. Buku ini termasuk dalam kelompok kedua. Ia memang tidak berusaha mengharamkan poligami, melainkan memberikan dasar-dasar ushul fiqh sedemikian sehingga untuk konteks sekarang ini, tampaknya sudah tidak ada lagi alasan orang untuk berpoligami. Penulis mengkritik manhaj-manhaj poligami dengan menggunakan pisau analisis dari hasil ijtihad para mufasir, muhaddits, ahli ushul fiqh, dan cendekiawan Muslim yang menyepakati bahwa monogami lebih banyak menolak mudharat dibandingkan poligami. Lebih jauh, buku ini memberikan dasar bagi pengambil kebijakan untuk merekonstruksi UU Perkawinan.
· 2022
Pluralisme pernah menjadi isu terpanas di jagat intelektual Indonesia pada tahun 2000-an. Puncaknya ketika MUI pada 2005 menerbitkan fatwa haramnya paham pluralisme—bersama dua saudaranya: liberalisme dan sekularisme. Sayangnya, penghakiman atas istilah/konsep pluralisme itu sering muncul dari prasangka atau pemahaman yang kurang mendalam dan menyeluruh. Nah, buku ini ingin memperlihatkan kepada pembaca, bagaimana para sarjana Muslim terkemuka memahami/mendekati agama, dari sudut disiplin yang berbeda, dengan suatu cara yang boleh jadi dianggap melampaui diskursus keagamaan arus utama. Mereka menggali substansi dan kedalaman teks serta keragaman tafsir atasnya. Sudut disiplin yang dimaksud adalah kalam (teologi), fiqih (hukum), dan tasawuf (mistisisme). Teks-teks keagamaan itu dibaca oleh mereka melalui mekanisme penggabungan aktivitas nalar rasional, filosofis, dan permenungan kontemplatif. Mereka adalah para Mahaguru Pencerahan: Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ibn Rusyd al-Hafid, Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Husain Manshur al-Hallaj, dan Imam Fakhr al-Din al-Razi. Pengantar Edisi Baru PLURALISME DAN TOLERANSI ITU INDAH KEBERAGAMAN atau keanekaragaman adalah kehendak Tuhan. Atau, dalam bahasa lain, hukum alam. Keberagaman bukan hanya dalam aspek tubuh, tetapi juga ruh, akal, dan kehendak. Dalam keragaman ada keindahan bagai taman bunga warna-warni dengan beragam aromanya. Di dalamnya ada bermacam energi yang membuat hidup jadi bergairah dan kreatif. Syaikh Syams-i Tabrizi, guru spiritual Maulana Jalaluddin Rumi, menyampaikan kata-kata indah: “Kita semua diciptakan menurut citra Allah, dan pada saat yang sama masing-masing kita diciptakan berbeda dan unik. Tak ada orang yang sama. Tak ada dua hati yang sama. Jika Tuhan ingin semua orang sama, Dia sudah menciptakan demikian. Oleh karena itu, tidak menghargai perbedaan atau memaksakan pandanganmu terhadap orang lain sama saja dengan tak menghargai aturan dan keputusan Tuhan” (Syams-i Tabrizi, Tafsir 40 Kaidah Cinta). Al-Quran sendiri sudah menegaskan hal ini: Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah kamu untuk berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perdebatkan. (QS Al-Mâ?idah [5]: 48) Keragaman eksistensi tersebut seyogianya membimbing kita bukan saja untuk saling menghargai eksistensi yang lain, tetapi juga saling menyambut, menyediakan tempat, dan memudahkan yang lain. Inilah makna genuine dari kata toleran, samâhah, atau tasamuh. Betapa indahnya hidup ini bila manusia dalam kehidupan bersamanya saling membagi kegembiraan dan kebahagiaan. Dalam beberapa dasawarsa ini, dunia Muslim tengah mengalami problem serius atas isu tersebut. Hampir saban hari relasi antarmereka sendiri, seagama atau sekeyakinan, dan mereka dengan “liyan” sebangsa dan se-Tanah Air diliputi ketegangan, perseteruan, konflik, permusuhan, bahkan saling membunuh. Fenomena ini belakangan telah menciptakan islamofobia, bahkan kecenderungan sebagian masyarakat untuk tak lagi ingin beragama. Mereka hanya ingin bertuhan atau sebagian lain malah menolak keberadaan Tuhan. Buku ini hadir untuk memberikan pengetahuan kepada dunia bahwa para bijak bestari, intelektual Muslim besar dan para tokoh kemanusiaan yang namanya melegenda, mengurai isu kemanusiaan ini dengan begitu indah. Saya selalu merindukan kehadiran mereka di sini, hari ini, untuk membagi cahaya dan cinta. Beberapa saja dari mereka yang untuk sementara bisa saya tulis adalah Syaikh Husain Manshur al-Hallaj, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Imam Ibn Rusyd al-Hafid, Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi, dan Imam Fakhr al-Din al-Razi. Syams al-Din Muhammad al-Syahrzuri (w. 1288 M), pada pendahuluan bukunya, Nuzhah al-Arwah wa Raudhah al-Afrah fi Tarikh al-Hukama wa al-Falasifah, memberi saya pengetahuan ketika dia mengatakan: “Zaman telah sunyi senyap dari kehadiran seperti para tokoh besar kemanusiaan. Umat manusia diliputi ketidakmengertian. Bila engkau seorang pelajar yang rajin dan pemikir yang memperoleh petunjuk Tuhan, seyogianya mengikuti jejak mereka dan mencari cari dengan serius kabar mereka.” Sementara Imam al-Thabarani, seorang ahli hadis terkemuka, menginformasikan kepada kita pesan-pesan kenabian. Antara lain: “Hadiah dan pemberian paling indah adalah kata-kata dan narasi kebijaksanaan (wisdom). Seyogianya orang-orang beriman mendengarkannya lalu menginternalisasikannya ke dalam jiwanya, kemudian membagikannya kepada saudara-saudaranya.” Cirebon, 27 Januari 2021 Husein Muhammad