My library button
  • Book cover of Kebijakan Hukum Pidana Tanpa Kesalahan dalam Delik Lingkungan - Rajawali

    Kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup merupakan diskursus dan problematika yang menjadi perbincangan serius dari semua elemen, baik pemerintah, ahli, akademisi, praktisi, LBH, LSM pemerhati lingkungan, maupun masyarakat secara umum. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, justru berbanding terbalik dengan fakta empiris kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang semakin meluas di berbagai wilayah Indonesia. Di sisi lain, hadirnya undang-undang bidang lingkungan hidup, seperti: Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang) sebagai upaya pemerintah untuk melindungi lingkungan hidup dari kerusakan dan pencemaran, ternyata dalam tataran praksis belum berjalan secara maksimal. Salah satu faktor krusial yang menjadi kendala adalah adanya perbedaan asas hukum yang diadopsi dalam norma pemidanaan UU PPLH dan UU PPPH, dengan UU Minerba, UU Perkebunan, dan UU Penataan Ruang. UU PPLH dan UU PPPH secara eksplisit mengadopsi asas pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (mens rea), di samping pelanggaran hukum (actus reus) dalam rumusan norma pemidanaannya. Sedangkan UU Minerba, UU Perkebunan, dan UU Penataan Ruang mengadopsi asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam rumusan norma pemidanaannya. Perbedaan tersebut, secara prinsip berpotensi menghambat penegakan hukum lingkungan pada ranah praksis-empiris. Oleh sebab itu, diperlukan satu komitmen dari pembuat undang-undang (eksekutif dan legislatif) untuk mengkaji ulang terhadap keberadaan UU PPLH dan UU PPPH yang masih mengadopsi asas pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (mens rea) dan tidak mengadopsi asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) sebagaimana UU Minerba, UU Perkebunan, dan UU Penataan Ruang. Buku ini membahas substansi penting tentang kebijakan hukum pidana tanpa asas kesalahan dalam delik lingkungan yang sebenarnya sangat penting diadopsi dalam UU PPLH dan UU PPPH yang memiliki kelemahan secara yuridis maupun konseptual, agar penegakan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup berjalan maksimal sebagaimana harapan pemerintah maupun masyarakat Indonesia.

  • Book cover of Dinamika Hukum dalam Problematika Kebangsaan

    Buku ini disusun menjadi 5 (lima) bab: Bab 1, membahas hubungan hukum dan moral dalam perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di mana kita semua menyadari masih banyak ditemukan fakta penegakan hukum yang menegasikan moral sehingga berdampak luas terhadap keadilan hukum. Hukum harus hadir sebagai pelindung bagi masyarakat melalui aparat penegak hukum yang memiliki integritas dan moralitas, sehingga hukum bisa ditegakkan dengan cara yang benar melalui jalan (mekanisme) yang benar pula; Bab 2, membahas Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi hukum positif di Indonesia. Pancasila harus dijadikan pijakan berhukum dan penegakan hukum di Indonesia, sehingga ke depan tidak lagi muncul penegakan hukum yang “tidak bermoral” dan mereduksi nilai-nilai keadilan hukum sebagaimana yang dituangkan dalam Pancasila. Dalam bab ini juga disinggung beberapa gerakan menentang Pancasila, baik yang dilakukan secara personal maupun terorganisir, serta membahas tentang bantuan hukum secara gratis (cuma-cuma) kepada masyarakat miskin yang merupakan salah satu bagian dari substansi Pancasila dan diatur secara tegas dijamin di dalam Konstitusi (UUD NRI 1945) maupun

  • Book cover of Anomali Nilai dalam Praperadilan

    Buku "Anomali Nilai dalam Praperadilan" merupakan buku yang ditulis oleh beberapa akademisi lintas unversitas di Indonesia berkat kerja sama Perhimpunan Dosen Ilmu hukum Pidana (DIHPA) Indonesia. Buku ini memiliki fokus pembahasan pada putusan Praperadilan. Fokus tersebut tentu menjadi keunggulan dari buku ini, sebab belum banyak buku yang fokus membahas dan menganalisis putusan praperadilan. Dari strukturnya, buku ini dikemas dalam 7 pembahasan, dengan masing-masing pembahasan berdiri sendiri dan dilengkapi dengan referensinya. Struktur tersebut tidak mengharuskan pembaca dengan metode urutan, tetapi bisa langsung memilih pada tema yang diinginkan. Bagian pertama, pembaca akan disajikan dengan karya kolaborasi Junaidi, Mila Surahmi, dan Desmawaty Romli dengan atikel berjudul "Kewenangan Peradilan dalam Penetapan Tersanga Baru Kasus Korupsi (Analisis Putusan Nomor 24/Pid/Pra/2018/PN. Jkt.Sel)." Tulisan tersebut mengungkapkan bahwa, pemohon praperadilan mendalilkan bahwa telah ada upaya penghentian penyidikan kasus korupsi Bank Century oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tempo waktu 2 (dua) tahun sejak putusan tersebut inkracht. Padahal di dalam berkas perkara status tersebut nama dan peranannya sudah tercantum jelas. Atas dalil tersebut, hakim memberikan putusan yang salah satu amarnya menyatakan bahwa KPK harus segera melakukan penyidikan dan menetapkan Boediono sebagai tersangka dalam perkara korupsi Bank Century. Adapun tulisan kedua berjudul "Penalaran Hakim dalam Menerima Upaya Banding Terhadap Putusan Praperadilan dengan Objek Ganti Rugi (Studi Kasus Putusan Nomor 49/Pid/2013/PT.SMG) yang ditulis oleh Ramiyanto dan Ani Triwati. Hukum positif telah menegaskan bahwa terhadap semua putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya banding. Dalam praktiknya, ternyata masih ada yang mengajukan upaya banding terhadap putusan praperadilan dengan obyek ganti rugi dan dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang sebagaiman terlihat dalam Putusan No. 49/Pid/2013/PT.SMG. Dalam hal ini, hakim semestinya bertujuan untuk mencapai kepastian hukum sebagai aspek ontologis. Hakim merujuk pada ketentuan KUHAP, tetapi ketentuan itu tidak mengatur secara tegas mengenai objek perkara di Pengadilan Tingkat Banding. Saran penulis adalah ketiga aspek penalaran hukum perlu diperhatikan oleh hakim ketika memutus suatu perkara sehingga dapat menghasilkan putusan yang berkualitas baik. Artikel ketiga berujudul "Telaah Putusan Praperadilan Nomor 24/PID/PRA/2018/PN.JKT.SEL dalam Upaya Penegakan Hukum (Law Enforcement) di Indonesia" ditulis oleh Zico Junius Fernando, dan Yagie Sagita Putra. Artikel mengungkapkan bahwa praperadilan di Indonesia diatur di dalam Pasal 77 KUHAP yang terdapat perluasan sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 dan ke depan (ius constitutum) pengaturan praperadilan perlu diatur secara lebih baik agar putusan seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel yang melanggar aturan yang ada, tidak terjadi lagi dalam upaya penegakan hukum (law enforcement) di dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Adapun artikel keempat "Problematika Hukum Gugurnya Permohonan Peraperadilan dalam Perspektif Ethics in Criminal Justice" yang ditulis oleh Efendik Kurniawan, Kholilur Rahman. Adapun artikel kelima berjudul "Kekeliruan Epistemologis dalam Penyidikan terhadap Tindak Pidana Administrasi: Menguji Prinsip Kehati-hatian Melalui Praperadilan" yang ditulis oleh Novriansyah. Dilanjutkn artikel keenam berujudul "Diskursus Praperadilan Pra dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia" ditulis oleh Ribut Baidi dan Cuk Indah Mardianto. Adapun terakhir "Penetapan Tersangka dalam Ranah Praperadilan di Indonesia" yang ditulis oleh Anis Rifai, Aurora Jillena Meliala.